Jumat, 19 Januari 2018

" WALI WAFAT DIHADAPAN PARA WALI "


Ada seorang wali Allah bernama Abu Jahir telah keluar dari negerinya dan tinggal di sebuah tempat yang jauh dari kampung asal bersama isteri dan keluarganya yang lain. Di tempat baru ini, dia telah mendirikan sebuah masji dan beribadah di situ dengan tekun dan tenang. Beliau sentiasa dikunjungi oleh orang yang ingin belajar dan mendalami jalan menuju Allah SWT.

Pada suatu hari seorang wali Allah yang lain bernama Soleh Al-Mari berazam untuk menziarahi Abu Jahir untuk mendapatkan barakah dari beliau. Maka pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Soleh menuju negeri tempat tinggalnya Abu Jahir. Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan Muhammad bin Wasi’, kenalannya yang juga seorang Wali Allah.

“Assalaamuálaikum.” kata Soleh.

“Waálaikumussalaam warahmatuLlah” jawab Muhammad bin Wasi’

Kedua wali Allah ini pun berpelukan sambil bertanyakan khabar masing-masing dan berbual mengenai masalah kesufian.

“Engkau hendak pergi ke mana?” tanya Muhammad.

“Aku hendak menziarahi rumah Abu Jahir”

“Ke rumah Abu Jahir?”

“Ya, betul”

“Masya Allah, aku juga hendak pergi bersama.”

Kedua-duanya pun berangkat menuju ke tempat tinggal Abu Jahir dan setelah berjalan beberapa batu, mereka bertemu dengan seorang lagi Wali Allah bernama Hubaibul Ajami. Mereka bersalaman dan bertanyakan khabar.

“Hendak ke mana anda berdua ini?” tanya Hubaibul Ajami.

“Kami hendak menziarahi rumah Abu Jahir”

“Aku juga dalam perjalanan ke sana”

“Kalau begitu eloklah kita pergi bersama”

Mereka meneruskan perjalanan dalam keadaan yang sungguh menggembirakan kerana bilangan mereka semakin ramai. Setelah sampai di suatu tempat, tiba-tiba mereka berjumpa dengan Malik bin Dinar, seorang wali Allah yang masyhur. Mereka bersalaman.

“Hendak pergi ke manakah kamu ini?” tanya Malik bin Dinar.

“Kami hendak menziarahi rumah Abu Jahir”

“Subhanallah, aku juga sedang menuju ke sana.”

“Kalau begitu, kita pergi bersama.”

Sekarang mereka menjadi berempat dengan tujuan yang sama. Dengan kuasa Allah SWT, di tengah perjalanan, mereka berjumpa seorang lagi rakan Wali Allah yang bernama Thabit Al-Bannani. Mereka pun bersamalam dan saling bertanyakan khabar.

“Kamu hendak ke mana?” tanya Thabit.

“Kami hendak menziarahi rumah Abu Jahir”

“Masya Allah, saya juga akan ke sana.”

“Kalau begitu, kita pergi bersama.”

“Segala puji-pujian bagi Allah sWT yang telah mengumpulkan kita dan pergi bersama-sama walaupun tanpa perjanjian” kata Thabit Al-Bannani

Berjalanlah kelima-lima Wali Allah berkenaan menuju rumah Abu Jahir. Sepanjang perjalanan, mereka tidak putus-putus memuji dan bersyukur ke hadhirat Allah SWT justeru mengurniakan peluang berjalan bersama menuju ke rumah WaliNya. Tidak satu pun ucapan yang keluar dari mulut mereka melainkan perkataan yang mendatangkan manfaat.

Setelah berjalan beberapa lama, mereka singgah di suatu tempat untuk berehat dan solat.

“Marilah kita solat dua rakaat di sini, agar tempat ini ikut menjadi saksi esok di hari Kiamat di hadapan Allah Azza Wajalla” kata Thabit Al-Bannani

“Satu cadangan yang baik” sahut yang lain.

Lalu mereka mengerjakan solat bersama-sama dengan penuh khusyuk dan tawadduk. Setelah menunaikan solat, mereka berdoa untuk kepentingan umat Islam sekeliannya untuk di dunia dan di akhirat. Kemudian mereka meneruskan perjalanan dan akhirnya tiba di rumah Abu Jahir.

Terasa kedamaian pada mereka apabila terpandang rumah dan masjid yang didirikan oleh Abu Jahir. Namun mereka tidak terburu-buru mengetuk pintu atau minta izin untuk masuk demi menjaga peradaban Wali Allah. Mereka pun duduk di masjid menunggu Abu Jahir keluar untuk solat. Tidak berapa lama kemudia, waktu Zohor pun masuk. Maka keluarlah Abu Jahir tanpa bercakap apa-apa sebaliknya terus masuk ke masjid, berazan, iqamah dan solat. Kelima-lima tetamunya yang mulia itu solat berjemaah berimamkan Abu Jahir.

Selepas solat, barulah mereka menemui Abu Jahir satu persatu. Mula-mula sekali Muhammad bin Wasi’.

“Assalaamuálaikum” kata Muhammad

“Waálaikumussalaam” jawab Abu Jahir disambung dengan pertanyaan

“Anda ini siapa?”

“Saya saudaramu Muhammad bin Wasi’ “

“O...Kalau begitu andalah orang Basrah yang terkenal paling bagus solatnya itu kan?”

Muhammad diam tanpa berkata apa-apa.

Kemudian, Thabit Al-Bannani maju ke hadapan.

“Siapakah anda ini?” tanya Abu Jahir

“Saya saudaramu Thabit Al-Bannani”

“O...Kalau begitu kamu yang dikatakan sebagai orang Basrah yang paling banyak solatnya itu kan?” Tanya Abu Zahir.

Thabit juga diam tanpa berkata apa-apa.

Tiba pula giliran Malik bin Dinar.

“Siapakah anda ini?” tanya Abu Jahir

“Saya saudaramu Malik bin Dinar” jawabnya.

“Masya Allah, jadi kamulah yang termasyhur sebagai orang yang paling zuhud di kalangan penduduk Basrah, bukan?”

Malik juga tidak berkata apa-apa. Kemudian Hubaib Al-Ajami menemui Abu Jahir.

“Anda ini siapa?” tanya Abu Jahir

“Saya adalah saudaramu Hubaib Al-Ajami”

“Masya Allah, kalau begitu andalah yang terkenal di kalangan penduduk Basrah sebagai orang yang mustajab doanya” kata Abu Jahir

Seperti yang lain, Hubaib mendiamkan diri. Akhirnya tiba giliran Soleh Al-Mari maju ke hadapan untuk memperkenalkan dirinya.

“Anda pula siapa?” tanya Abu Jahir.

“Saya saudaramu Soleh Al-Mari” jawabnya.

“Subhanallah, kalau begitu andalah yang terkenal di kalangan penduduk Basrah sebagai qari yang fasih dan bagus suaranya.”

Soleh juga tidak mengeluarkan apa-apa komen.

Abu Jahir bertafakur sebentar seperti mengenangkan sesuatu.

“Aku sebenarnya sangat rindu dan ingin mendengar suaramu wahai saudaraku” kata Abu Jahir. “Oleh itu, aku suka engkau bacakan empat atau lima ayat Al-Qurán kerana aku ingin sangat mendengarnya.”

Soleh memenui permintaannya lalu dia membuka Al-Qurán dan membaca Surah Al-Furqan : Ayat 22 yang bermaksud :

“Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada khabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata “Hijraan mahjuuraa” Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu debu yang berterbangan”

Sebaik sahaja mendengar bacaan ‘debu yang berterbangan’, Abu Jahir berteriak kuat sehingga pengsan disebabkan rasa ketakutan yang teramat sangat kepada Allah SWT. Apabila beliau sedar dari pengsannya, dia berkata “Sila ulangi pembacaan ayat tadi”

Soleh mengulangi bacannya dan apabila sampai kepada “Debu yang berterbangan”, sekali lagi Abu Jahir berteriak sehingga rebah di tempat sujud dan wafat ketika itu juga.

Soleh dan teman-teman Wali Allah nya sangat terharu menyaksikan kewafatan Abu Jahir yang mengkagumkan itu. Beliau wafat dalam keadaan amat ketakutan mendengar Kalam Ilahi. Tidak lama kemudian, isteri Abu Jahir muncul.

“Siapakah kalian ini?” tanya isteri Abu Jahir.

“Kami datang dari Basrah. Yang ini Malik bin Dinar, Hubaib Al-Ajami, Muhammad bin Wasi’, Thabit Al-Bannani dan saya adalah Soleh Al-Mari” jawab Soleh mewakili para aulia sahabatnya itu.

Tiba-tiba perempuan itu berkata “Innaa lillaahiwainnaa ilaihi raajiúun...kalau begitu Abu Jahir telah wafat”

Soleh dan rakan-rakan wali Allah nya merasa hairan terhadap perempuan itu, kerana dia telah memastikan kematian suaminya, padahal dia belum menyaksikannya dan mereka juga belum memberitahunya apa yang telah terjadi.

“Dari mana puan tahu bahawa Abu Jahir telah wafat?” tanya mereka kehairanan.

“Saya telah banyak kali mendengar doanya di mana beliau sering mengucapkan “Ya Allah, kumpulkanlah para Aulia-Mu pada saat ajalku” dan perempuan itu menyambung “Jadi, tidaklah kamu berkumpul di sini sekarang ini melainkan Abu Jahir telah wafat”

Rupa-rupanya doa Abu Jahir telah dimakbulkan Allah SWT.

Maka para Aulia itu pun menguruskan mayatnya dari memandikan, mengkafankan, menyembahyangkan sehinggalah menguburkan.

Maha Suci Allah, yang telah mewafatkan hambaNya yang mulia dan diuruskan oleh tangan-tangan yang mulia pula. Semoga kita dikumpulkan oleh Allah SWT dalam golongan orang yang baik-baik dan mati syahid..Amin Ya Rabbal Aa’lamiin.
_________________

Dunia terpelihara Akhirat dapat pahala

Kamis, 18 Januari 2018

" Kisah Seorang Pemabuk Menjadi Wali Allah ( subhanallah ) "


Hidayah bisa datang kepada siapa saja yang dikehendaki Allah SWT. Tak terkecuali Bisyir bin Harits, seorang pemuda yang gemar minum-minuman keras. Bisyir bin Harits benar-benar datang. Ia menempati janji seperti yang disampaikan kepada saudara perempuannya. Namun kemunculannya terlihat lain, ia limbung seperti halnya orang yang tengah kebingungan.
Belum lagi duduk atau berkata sepatah katapun untuk basa-basi, Bisyir malah melenggang meninggalkan ruang tamu, “Saya akan naik ke atas,” begitu kata Bisyir tanpa basa-basi, membuat saudara perempuannya heran.
Keheranan saudara perempuan Bisyir kian bertambah. Pasalnya setelah melewati beberapa anak tangga menuju ke loteng, Bisyir berhenti. Ia terdiam di sana sampai saat subuh tiba.
Mengapa sepanjang malam tadi engkau hanya berdiri di tangga itu?” tanya saudara perempuan Bisyir sesaat setelah Bisyir selesai melaksanakan shalat subuh.
“Ketika saya baru naik, tiba-tiba muncul pemikiran dalam otakku. Di Baghdad ini banyak orang yang memiliki nama Bisyir, ada yang Yahudi, Kristen, Majusi. Aku sendiri seorang muslim yang bernama Bisyir. Saat ini aku mendapat kebahagiaan yang besar. Aku bertanya dalam diriku:
Apakah yang telah aku lakukan ini sehingga mendapat kebahagiaan sedemikian besar, dan apa pula yang selama ini mereka kerjakan sehingga tidak mendapat kebahagiaan seperti yang kudapat? Itulah yang membuatku berdiri di tangga itu sepanjang malam tadi,” kata Bisyir kepada suadara
perempuannya.”
Tingkah aneh yang dilakukan Bisyir tidak itu saja. Orang-orang yang mengenalnya mengetahui, hampir separuh hidup Bisyir dijalani dengan penuh keanehan.
Suatu ketika cuaca sangat dingin, orang-orang yang tidak kuat dengan cuaca itu merangkap bajunya beberapa lembar, tapi Bisyir malah melepas bajunya yang dipakai hingga menggigil kedinginan.
“Mengapa engkau melepas bajumu wahai Abu Nashr, bukankah engkau menggigil kedinginan. Lihatlah orang-orang itu, mereka mengenakan baju berlapis-lapis,” kata salah seorang sahabat yang merasa aneh dengan tingkah Bisyir.
“Aku teringat pada orang-orang miskin, betapa menderitanya mereka saat ini, sementara aku tidak punya uang untuk membantu mereka, karena itu aku turut merasakan penderitaan seperti yang mereka rasakan saat ini,” kata Bisyir. Sahabatnya tidak bisa berkata-kata.
Di waktu yang lain, Bisyir berjanji hendak mengunjungi Ma’ruf, salah satu sahabatnya. Mendapati janji tersebut Ma’ruf dibuat girang. Dengan sabar Ma’ruf menunggu kedatangan Bisyir hingga waktu dluhur tiba, Bisyir belum juga tiba hingga usai shalat Asar.
Bahkan setelah menunaikan salat Isya pun, Bisyir belum juga tiba. Ma’ruf tetap bersabar menunggu kedatangan Bisyir, Ia yakin Bisyir tidak mungkin mengkhianati janjinya. Harapan dan kesabaran Ma’ruf tidak sia-sia. Ketika malam semakin larut, ia melihat Bisyir dari kejauhan, tanangannya mengapit sebuah sajadah.
Saat sampai di Sungai Tigris, Bisyir menyebrang sungai itu dengan cara berjalan di atas air. Hal sama dilakukannya ketika hendak pulang saat waktu subuh tiba setelah mereka berbincang sepanjang malam. Seorang sahabat Ma’ruf yang menyaksikan kejadian itu mencoba mengejar Bisyir, kepadanya ia minta didoakan, setelah mendoakan sahabat Ma’ruf sesuai yang dimintanya, Bisyir berpesan agar apa yang dilihatnya itu tidak diceritakan kepada siapapun. Dan orang itu tetap menjaga rahasia tersebut sepanjang masa hidup Bisyir.
Di lain kesempatan Bisyir kedatangan sekelompok orang dari Syiria. Mereka bermaksud mengajaknya menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Namun ajakan itu tidak serta merta dipenuhinya. Kepada tamunya itu Bisyir mengajukan syarat: Pertama, mereka tidak dibolehkan membawa bekal apapun. Kedua, mereka tidak boleh meminta belas kasihan orang lain dalam perjalanan. Ketiga, jika ada orang yang melihat karena iba dan kasihan kepada mereka, mereka tidak diizinkan menerima pemberian itu.
Tawakal kepada Allah
“Pergi tanpa perbekalan dan tidak boleh meminta-minta dapat kami terima, tapi apabila orang lain memberikan sesuatu mengapa tidak boleh menerimanya,” tanya salah seorang dalam rombongan itu.
Mendengar kekhawatiran tersebut, Bisyir pun menjawab, “Sebenarnya diri kalian tidak memasrahkan diri kepada Allah, tapi kepada perbekalan yang kalian bawa.”
Pada saat yang lain datang seorang lelaki datang minta nasihat pada Bisyir, lelaki itu memiliki uang sebanyak 2000 dirham, yang halal dan akan digunakannya untuk melaksanakan haji.
Kepada orang itu Bisyir malah berkata, “Apakah engkau hendak bersenang-senang? Jika engkau benar-benar bermaksud membuat Allah suka, lunasilah hutang seseorang, atau berikan uang itu kepada anak yatim, atau kepada orang yang butuh pertolongan. Kelapangan yang diberikan kepada jiwa seorang muslim lebih disukai Allah daripada seribu kali menunaikan ibadah haji.”
Mendengar nasihat itu, laki-laki itu menjawab, “Walau demikian aku lebih suka jika uang ini kupergunakan untuk menunaikan ibadah haji.”
“Itulah bukti, engkau telah memperolehnya dengan cara tidak halal, maka engkau tidak akan merasa senang sebelum menghabiskannya dengan cara-cara yang tidak benar,” kata Bisyir kemudian.
BismillahKeanehan dan kealiman Bisyir tidak terlepas dari pengalaman relijius yang pernah dialaminya. Sewaktu muda, Bisyir dikenal sebagai seorang pemabuk. Suatu malam ia berjalan seorang diri dengan sempoyongan karena mabuk minuman keras. Di tengah perjalanan ia menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat “Bismillahirramanirrahim”. Antara sadar dan tidak, ia lantas membeli minyak mawar yang dipakainya memerciki kertas itu untuk disimpannya.
Setelah kejadian itu, di suatu malam ada seorang ulama yang bermimpi bahwa ia diperintah Allah agar menemui Bisyir, dengan menyatakan, “Engkau telah mengharumkan namaku, maka Aku pun telah mengharumkan namamu. Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka aku pun telah memuliakan dirimu. Engkau telah menyucikan nama-Ku, maka aku pun telah menyucikan dirimu. Demi kebesaran-Ku, niscaya kuharumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat.”
Namun, karena ia mengenal Bisyir sebagai sosok pemuda berandal, lelaki itupun langsung melanjutkan tidurnya setelah ia bersuci. Tapi ia menemukan mimpi yang sama hingga tiga kali.
Keesokan harinya ia pergi menemui Bisyir, yang tengah menghadiri pesta minuman keras. Ia ceritakan sebuah pengalaman dan perintah Allah yang mesti dikerjakannya. Sejak itu, atas izin dan perkenan Allah, Bisyir langsung berubah. Namanya tidak lagi disebut dalam pesta anggur, apalagi sampai ia datang ke pesta maksiat itu.
***
Kisah yang lain menyebutkan, Bisyir sempat bertemu Rasulullah SAW dalam tidurnya. Rasulullah mengatakan kepadanya alasan mengapa Allah memilih sebagai hamba yang dimuliakan. Karena dia selalu mengikuti sunah Nabi SAW, memuliakan orang yang saleh, memberi nasihat yang baik kepada saudara-saudaranya, dan mencintai Rasulullah dan keluarganya.
Pada kesempatan lain Bisyir sempat meminta nasihat pada sahabat Ali bin Abi Thalib melalui mimpinya. Sahabat Ali pun memberinya nasehat. “Belas kasihan orang kaya kepada orang miskin, karena berharap pahala dari Allah adalah perbuatan baik. Tapi lebih baik lagi bila orang-orang miskin itu enggan menerima pemberian orang kaya karena percaya kepada kemurahan Allah.”
Begitulah kisah hidup Abu Nashr Bisyir bin Al-Harits Al-Hafi. Meski sempat menjadi brandal dan pemabuk semasa mudanya, hamba Allah yang saleh yang lahir di Kota Merv (Persia) pada 150 H / 767 M ini segera berubah setelah hidayah itu diperolehnya. Ia tinggalkan segala kesenangan di dunia, lalu belajar hadits di Baghdad. Ia meninggal pada 227 H. Karena kesalehannya, Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab
Hambali, pun ikut menghormati dan mengaguminya.

Senin, 15 Januari 2018

" Ketika Wali Allah dan Rahib Beradu Kuat Dalam Kelaparan"

Le


ABU BAKR AL FARGHANI adalah seorang ahli ibadah yang tidak memiliki apa-apa. Meski demikian, Al Farghani menampakkan diri sebagai seorang saudagar. Ia memakai pakaian rangkap berwarna putih, mengenaikan surban dan sandal bersih di tangannya ada kunci besar yang bentuknya indah. Sedangkan Al Farghani sendiri tidak memiliki rumah dan tidur dari masjid ke masjid. Namun karena penampilannya, masyarakat umum memandang Al Farghani sebagai seorang saudagar, hanya kalangan khusus saja yang mengetahui hakikat keadaan ahli ibadah ini.

Suatu saat, Al Farghani melakukan perjalanan ke Mesir dengan pakaian indahnya tersebut. Para ahli ibadah pun tahu bahwa yang datang adalah ahli ibadah, hingga mereka berkumpul untuk mendengar petuahnya.
Sampai pada suatu saat Al Farghani melakukan perjalanan dengan diikuti oleh ahli ibadah yang lain. Karena tidak tahan, banyak ahli ibadah yang berhenti dan tidak sanggup mengikuti perjalanan kecuali sedikit. Sampai akhirnya Al Farghani bertanya kepada mereka,”Apakah kalian merasa lapar?” Mereka yang mengikuti perjalanan pun meng iyakan.
Akhirnya rombongan itu bersitirahat di sebuah kampung yang terdapat baiara para rahib. Melihat rombongan itu, seorang rahib menyeru kepada rahib-rahib lainnya,”Berilah makanan kepada para rahib Muslim ini, sesungguhnya ada sebagaian dari mereka yang tidak sabar terhadap rasa lapar”.
Al Farghani pun tersinggung dengan ucapan rahib tersebut, hingga ia menyampaikan,”Wahai rahib, apakah engkau sudah mengetahui ilmu mengenai bersabar dalam lapar?” Rahib itu pun bertanya,”Bagaimana?”

Al Farghani pun menjawab,”Wahai rahib, turunlah dari biaramu dan makanlah sesukamu, kamudian ikutlah bersamaku untuk masuk ke dalam sebuah ruangan untuk dikunci dan tidak membawa apa-apa kecuali air untuk kita bersuci. Barang siapa tidak tahan, maka ia memberi tanda untuk keluar dan mengikut ajaran temannya yang masih tetap dalam kondisi semula. Sedangkan aku sudah tiga hari tidak mencium bau makanan”.

Akhirnya Al Farghani dan rahib pun sepakat untuk masuk ruangan kosong dan terkunci, sedangkan para ahli ibadah dan para rahib lain mengamati terus-menerus. Dan selama 40 hari mereka tidak melihat ada tanda apa-apa.
Sampai akhirnya di hari ke 41, terdengar suara ketukan pintu dari dalam ruangan itu dan ketika dibuka, maka yang muncul adalah rahib yang meminta pertolongan. Mereka yang berada di sekitarnya pun segera memberi minum sedangkan Al Farghani hanya melihat saja.

Tak lama kemudian rahib pun kembali kepada Al Farghani dan mengucap,”Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.
Setelah itu, Al Farghani pun memberi nasihat kepada para rahib yang berada di biara itu, hingga akhirnya seluruhnya mengikrarkan diri untuk masuk Islam.
Dan Al Farghani akhirnya kembali ke Baghdad bersama para ahli ibadah dan para rahib yang telah masuk Islam. (Thabaqat Al Auliya, hal. 304)

" Kisah Peminum Khmr ( minuman keras ) dan Pezina Yang Ternyata Wali "


Dikisahkan bahwa suatu malam Sultan Murod Ar-Rabi` mengalami kegundahan yang sangat, dan dia tidak mengetahui sebabnya.
Maka  Sang Sultan memanggil kepala penjaga/sipir dan memberitahukan tentang keadaannya yang sedang gundah,
Dan memang merupakan kebiasaan Sultan bahwa dia sering memeriksa keadaan masyarakat/rakyatnya secara sembunyi-sembunyi.
Maka Sultan berkata kpd Kepala Sipir : Mari kita keluar, jalan-jalan di antara penduduk (guna memeriksa dan memantau keadaan mereka).
Mereka pun berjalan hingga sampailah di sebuah penghujung desa, dan Sultan melihat seorang pria tergeletak di atas tanah.
Sultan menggerak-gerakkannya (untuk memeriksa) dan ternyata pria tersebut telah tewas.
Namun anehnya orang-orang yang melintasi dan berlalu lalang di sekitarnya tidak memperdulikannya.
Maka Sultan pun memanggil mereka, tapi mereka tidak mengetahui Sang Sultan,
Mereka berseru : Ada apa?
Sultan : Kenapa pria ini tewas dan tidak seorangpun yang membawanya? Siapa dia? Dan dimana keluarganya?
Mereka berujar : Ini orang zindiq, suka minum khomar, pezina.
Sultan menimpali : Namun bukankah dia dari golongan umat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam? Ayo bawa dia ke rumah keluarganya.
Maka mereka pun membawanya.
Ketika sampai di rumah, istrinya pun melhatnya dan langsung menangis.
Dan orang-orangpun mulai beranjak pergi, kecuali Sang Sultan dan Kepala Sipir.
Di tengah tangisan si wanita (istri si mayyit), dia berseru kepada Sultan (namun wanita tersebut tidak mengetahuinya) : Semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah, aku bersaksi bahwa engkau sungguh wali Allah.
Maka terheranlah Sultan Murod dengan ucapan wanita tersebut, dan berkata : Bagaimana mungkin aku termasuk wali Allah sementara orang-orang berkata buruk terhadap si mayyit, hingga mereka enggan mengurusi mayatnya.
(Sultan merasa heran, bagaimana mungkin seorang zindiq ditolong oleh wali Allah)
Wanita pun menjawab : Aku sudah duga hal itu,
Sungguh suamiku setiap malam pergi ke penjual arak/khomar lantas  membeli seberapa banyak yang dia bisa beli, kemudian membawanya ke rumah kami dan menumpahkan seluruh khomar ke toilet, dan dia (suami) berkata : Semoga aku bisa meringankan keburukan khomar dari kaum muslimin.
Suamiku juga selalu pergi kepada para zaniah/pelacur dan memberinya uang, dan berkata : malam ini kau ku bayar dan jangan kau buka pintu rumahmu (untuk melacur) hingga pagi,
Kemudian suamiku kembali ke rumah dan berucap : Alhamdulillah, semoga dengan itu aku bisa meringankan keburukannya ( pelacur) dari pemuda-pemuda muslim malam ini.
Namun sementara orang-orang menyaksikan dan mengetahui bahwa suamiku membeli khomar, dan masuk ke rumah pelacur,
Dan lantas mereka membicarakan suamiku dengan keburukan.
Pernah suatu hari aku berkata pada suamiku : Sungguh jika seandainya engkau mati, maka tidak akan ada orang yang akan memandikanmu, mensholatkanmu, dan menguburkanmu.
Suamiku pun tersenyum dan menjawab : Jangan khawatir Sayangku… Sultan/Pemimpin kaum muslimin lah yang akan mensholatkanku beserta para ulama dan pembesar-pembesar negeri lainnya.
(Setelah mendengarnya) Sultan pun menangis lantas berkata : Suamimu benar,
Demi Allah aku adalah Sultan Murod Ar-Robi`,
Dan besok kami akan memandikan suamimu, mensholatkannya dan menguburkannya.
Dan diantara yang menyaksikan jenazahnya adalah Sultan Murod, para ulama, para masyayikh dan seluruh penduduk kota.
Maha Suci Allah, kita hanya bisa menilai orang dengan hanya melihat penampilan dan kulit luarnya dan kita pula hanya mendengar omongan orang.
Dan sendainya jika kita mampu bijak, kita akan memandang dan menilai orang dari kebersihan hatinya, Maka niscaya lisan kita akan kelu membisu dari menceritakan keburukan orang lain..
Subhanallah….
Wallahu a'lam bisshowab
*Sultan Murad IV adalah Sultan Khilafah Utsmaniyah ke-17 (1623-1640).
Dia hidup pada tahun 1021-1049 H (1612-1640 M).
Dia diangkat menjadi Sultan Kekhilafahan Utsmaniyah pada usia 11 tahun.